JAKARTA, KOMPAS.com — Jauh dari gambaran lembut seperti dilukiskan mitologi-mitologi kuno, Dewi Pertiwi sesungguhnya gampang senewen dan meledak-ledak.
Dia begitu peka sehingga sedikit saja cuaca dan iklim berubah, maka tercabiklah kerak bumi, dan keluarlah letusan vulkanik, gempa bumi dan longsor yang semuanya dahsyat.
Pernyataan itu bukan dari pendongeng, melainkan kesimpulan sejumlah ilmuwan yang pertengahan September 2009 berkumpul di London, Inggris, pada satu konferensi bertajuk "Climate Forcing of Geological and Geomorphological Hazards".
Para ilmuwan itu menilai perubahan iklim bisa merusak keseimbangan planet Bumi, kemudian menghadiahi manusia dengan rangkaian bencana geologis.
Sudah lama diketahui bahwa antara iklim dan pergerakan kerak bumi saling berkaitan, namun baru kini ditegaskan bahwa betapa pekanya lapisan bumi terhadap udara, es dan air di atasnya.
"Anda tak perlu perubahan besar-besaran untuk memancing respons kerak bumi," kata Bill McGuire dari University College London (UCL), ketua konferensi ilmuwan itu.
Simon Dya dari Universitas Oxford, serta McGuire dan Serge Guillas dari UCL, memaparkan bukti, bagaimana perubahan halus pada tingkat permukaan laut mempengaruhi kegempaan di Patahan Pasifik Timur, salah satu batas lempeng benua yang menjadi mekar paling cepat.
Para ilmuwan memokuskan perhatian pada lempeng mini Easter - lempeng tektonik yang menghampar di bawah samudera di lepas pantai Pulau Easter - karena lempeng ini relatif terisolir dari sesar-sesar lain.
Fokus ini mempermudah upaya membedakan perubahan-perubahan dalam lempeng tektonik yang terjadi karena sistem iklim, dari yang tercipta akibat tumbukan.
Sejak 1973, datangnya gelombang El Nino setiap sekian tahun berkorelasi dengan frekuensi gempa bawah laut berkekuatan magnituda 4 dan 6.